Di tengah sorak-sorai tepuk tangan anak-anak menerima hadiah melimpah ruah, mereka rela berdiri diteriknya matahari, mereka mau menjadi badut ditengah-tengah para pejabat, pemberi hadiah. Katanya mereka diundang sebagai penghibur sekaligus menghibur dirinya sendiri. Harusnya tak perlu hadiah megah dan mewah itu, di luar pagar sana banyak yang membutuhkan, anak-anak dengan rumah beratap seng, hanya melihat mereka bernyanyi-menari, hanya melihatnya saja mereka sudah terhibur.
Di pojok panggung, berdiri seorang wanita pembawa baki hadiah yang bejibun berkotak-kotak sebesar kulkas, kuat juga ia mengangkatnya. Usianya kira-kira 30an tahun, tidak terlalu gendut tapi berisi. Terlihat selalu senyum, seperti tak ada beban hidup.
“Itu Bu Inge, pelatih karate kita, tapi sayang dia belum menikah”, bisik teman sebelahku sambil mengernyitkan dahinya, kepanasan.
Persis sewaktu aku duduk di bangku SMA, seorang pamong (baca:guru) Bimbingan Konselingku, selalu mendapatkan gerutuan dari teman-temanku lantaran sudah tua belum nikah padahal usianya sudah menginjak kepala lima. “ Pantas saja segalak serigala orang belum berkeluarga” begitu kata mereka.
Aku pernah baca sebuah artikel Islami, betapa tidak wanita-wanita kuat adalah istri Fir’aun dengan kukuhnya berpegang pada Islam ditengah bengisnya sang suami dan Maryam yang harus melahirkan seorang anak tanpa ayah ditengah cacian hina banyak orang. Dan mereka lebih kuat dari Aisyah RA karna masih bisa bersandar di bahu Rasulullah SAW. Sebenarnya tidak ada yang kuat tidak ada yang lemah, Tuhan pun mungkin tidak mempermasalahkan siapa yang kuat siapa yang lemah. Tapi aku, sedikit tergetak “iya, ya berarti Bu Inge dan pamong BK ku itu adalah termasuk wanita kuat”. Betapa pun tidak aku, kehilangan separuh jiwa saja serasa ikhlas bila malaikat Izroil mengambil separuh jiwaku yang tersisa, berdoa hanya untuk bisa bertahan satu hari, padahal aku ingin hidup lebih lama lagi di dunia, menikmati sisa-sisa waktu agar lebih berguna. Mulai tersadarlah wanita lemah ini.