31.8.09

KuaT

Di tengah sorak-sorai tepuk tangan anak-anak menerima hadiah melimpah ruah, mereka rela berdiri diteriknya matahari, mereka mau menjadi badut ditengah-tengah para pejabat, pemberi hadiah. Katanya mereka diundang sebagai penghibur sekaligus menghibur dirinya sendiri. Harusnya tak perlu hadiah megah dan mewah itu, di luar pagar sana banyak yang membutuhkan, anak-anak dengan rumah beratap seng, hanya melihat mereka bernyanyi-menari, hanya melihatnya saja mereka sudah terhibur.

Di pojok panggung, berdiri seorang wanita pembawa baki hadiah yang bejibun berkotak-kotak sebesar kulkas, kuat juga ia mengangkatnya. Usianya kira-kira 30an tahun, tidak terlalu gendut tapi berisi. Terlihat selalu senyum, seperti tak ada beban hidup.

Itu Bu Inge, pelatih karate kita, tapi sayang dia belum menikah”, bisik teman sebelahku sambil mengernyitkan dahinya, kepanasan.

Persis sewaktu aku duduk di bangku SMA, seorang pamong (baca:guru) Bimbingan Konselingku, selalu mendapatkan gerutuan dari teman-temanku lantaran sudah tua belum nikah padahal usianya sudah menginjak kepala lima. “ Pantas saja segalak serigala orang belum berkeluarga” begitu kata mereka.

Aku pernah baca sebuah artikel Islami, betapa tidak wanita-wanita kuat adalah istri Fir’aun dengan kukuhnya berpegang pada Islam ditengah bengisnya sang suami dan Maryam yang harus melahirkan seorang anak tanpa ayah ditengah cacian hina banyak orang. Dan mereka lebih kuat dari Aisyah RA karna masih bisa bersandar di bahu Rasulullah SAW. Sebenarnya tidak ada yang kuat tidak ada yang lemah, Tuhan pun mungkin tidak mempermasalahkan siapa yang kuat siapa yang lemah. Tapi aku, sedikit tergetak “iya, ya berarti Bu Inge dan pamong BK ku itu adalah termasuk wanita kuat”. Betapa pun tidak aku, kehilangan separuh jiwa saja serasa ikhlas bila malaikat Izroil mengambil separuh jiwaku yang tersisa, berdoa hanya untuk bisa bertahan satu hari, padahal aku ingin hidup lebih lama lagi di dunia, menikmati sisa-sisa waktu agar lebih berguna. Mulai tersadarlah wanita lemah ini.

CinTA

I love you full..”, pengungkapan cinta Mbah Surip pada segelas kopi, diikuti tawa “ha..ha...ha. .” ekspresi bahagia setelah menenggaknya seteguk. Sekarang terpampang jelas dilayar handphoneku, sudahlah aku tak mau berharap dengan ketawa lantang , bahagia atau lara yang mencuat masih dalam kesemuan. Yang pasti aku masih bisa mensyukurinya.

Ah, cinta, kupret memang!”, kayaknya pantas untuk mengekspresikannya.

Kata Imam Ghazali, cinta awalnya membakar dan pada akhirnya akan membunuh. Ya..hanya sebuah pendapat subjektif saja. Membakar apabila terlalu riya’, membunuh apabila terlalu kufur itu yang baru bisa kudalami selama ini.

Keterbakaran cinta, saat rasa dan logika tidak sinergis, berjalan saling bersilangan, hanya hasrat senang saja yang menjadi prioritas. Terbunuh oleh cinta, saat merasa cinta itu pergi, penyucian otak dan mantra “ya.. aku baik-baik saja, ikhlas” terus berdengung-dengung bila ingin hidup kembali. Hanya butuh pengikhlasan dalam koridor waktu dan tak tau kapan.

DiaM

Gadis itu memilih untuk diam, tak berani menyuarakan isi hatinya. Gadis itu merengkuk lusuh di sudut ruangan 4x4 meter, dengan hanya terlihat seberkas sinar berbinar dari ruji-ruji kasa besi. Gadis itu dengan congkak menjilati lukanya sendirian, ia tak menginginkan seorang pun berkeliaran menjadi simpatisan. Gadis itu melenguh merintih kesakitan. Dia menderita Thalasemia, darah yang sekian lama mengucur dari buluh nadinya tak kunjung mengering. Luka itu telah dibalut, tapi menganga kembali, setelah dengan sengaja ia menyiramnya dengan cuka.

Gadis itu hanya bisa mengeluh pedih, mengadu dalam peraduanNya, mengemis sesuap damai di hatinya hingga diam-diam ia riang.