31.10.09

BeranI

Badan ini lelah lunglai terkulai, kakipun serasa menggendong besi berton-ton tapi kutinggal saja tak ingin memanjakannya untuk sedikit memejamkan mata. Ia tertidur, matanya tertutup tapi di sudut matanya mengalir tetesan air yang semakin lama ia tak dapat menahannya. Mungkin sama sesaknya waktu itu.

Ketika seorang terhimpit keadaan, keputusan yang sebenarnya ia tak menginginkannya pun terpaksa keluar dari mulutnya sendiri. Berani memang dekat dengan resiko, tapi sebuah nilai dapat diambil dari keberanian untuk menyakiti diri bahwa manusia tak semestinya mengumbar bahagia demi meyumpal keegoisan jiwanya.

26.10.09

JeriH

Ketakutanku hidup menggugah kesadaran-kesadaran yang tertinggal, menjadikan kesuraman dalam berlaku bahwa kesulitan meraba hitam atau putih semakin nyata. Benar, langkahku dibayangi kematian, ia terasa semakin dekat , mati untuk berlaku hidup dan aku semakin tak berdaya tercekang benakku sendiri meski aku pun sadar itu sangat mengatasi kuasaNya.

Kesah dari masalah tak ada sisi manapun yang bisa dipersalahkan, mereka punya perannya masing-masing, dan disini peranku untuk mempertanggungjawabkannya sendiri. Namun, kebutaan itu telah hebat membungkamku, yang ada tinggallah menunggu dengan jerih.

24.10.09

MaknA

Selamanya..

Sebuah kata yang sarat makna, kadang disalahgunakan mendahului kehendakNya. Keinginan memberi arti mungkin hanya menjadi sumber penderitaan jika tak mengerti esensi hakikatnya.

RelunG

Hati dan mata terkait padu, keduanya berjalan seirama. Hati yang tergores mengeluarkan nanahnya, matapun menjadi nanar bercucuran bulir-bulir air linangannya. Beda, dengan mulut dan hati, keduanya bisa saling mengibuli, karna mulut terkadang busuk berpura-pura membalut hati yang lara.

Jawabnya bukan di mulut, melainkan di palung relung.

16.10.09

AsinG

Dug..dig..dag..dig..dug..! debur jantung bertempur, berlebihan bila dikata mau copot, tapi jelas di dada ini ada permainan batin. Tepatnya, usai rutinitas apel malam, aku hendak membeli segelas jus buah untuk seorang temanku yang terus mengeluh tentang perutnya yang tak sedang bersahabat. Di kantin, disitu aku harus memanggil pelayan penjualnya di lantai dasar , dia hanya menjual tak bermodal. Kunaiki tangga dari sisi belakang, terlihat sosok lelaki dari samping yang tak asing, dengan tinggi 180an centi, berat badan seimbang sekitar 70an kilo, bahu tegap berjalan bak tuan tanah, rambut lurus menipis ke belakang hingga ke leher, hanya terhenyak diam, mati kutu “bukannya seharusnya dia bersapa dengan dosen malam ini, bukan di sini ,bukan!”. Tak bisa disangkal, detak jantung ini semakin tak gentar melemahkan tubuh yang kian melemas, untung lelaki itu cepat menoleh, “ benar bukan, hanya wajah asing yang mirip”.

DindinG

Tepat di akhir masa idahku, masih membekas tajam di hati, mungkin takkan musnah dan membiasa adalah satu-satunya jalan. Bersahabat dengan kepenatan tiap hari tanpa jengah, mengais tangis mungkin selalu dirasa. Pasrah untuk tak takut merasa dan tak berani berbuat karna semua jalan telah membentur dinding.

Teman lelaki duduk dibelakangku, menepuk-tepuk pundakku dengan tak sopan.

“Hush..hush ada yang marah..” sahut sebelahnya, ngejek mencibir layaknya anak SMP memperolok cinta monyet.

“Pasal 25 cuk!”, jawabnya tegas.

Ada lima di dua lima, itulah dinding yang kokoh tegap berdiri, untuk saat ini hanya pasrah, sia-sia mencari celah, bahkan takkan berdaya merobohkannya sendiri, karna pemukul ajaibku telah raib tiga bulan silam. Berharap tak ada korban lain yang mati karna berusaha menembus dinding itu.

Namun, keyakinan bahwa tiap orang berhak atas jalannya masing-masing membuatku percaya, korban-korban itu pada akhirnya akan memilih jalan hidupnya, tak berhak untuk mengusik pilihan yang lain dan diam untuk tak bicara adalah caraku.

Tuhan telah menciptakan dinding kokoh itu melalui tangan-tangan besi manusia penguasa.

14.10.09

PagaN

Sedikit tertegun ketika ‘seorang’ bertanya menyoal masalah.

Tak mudah diuraikan, urung, canggung atau bingung di benak yang sudah majal ini. Memapar masalah sudah dienggan. Hanya mencoba mindful, berjalan di jalur yang ada meski sering menyimpang, tak ingin memandang ke belakang dan tak mau mengumpan ke depan. Sebenarnya, jawab atas kegundahanku hanya satu yaitu ketakutanku berpolah laku dalam hidup dan kengerianku menyikapi mati.

12.10.09

KeajaibaN

Mendengar penuturan kawan kadang mengesankan, terpana mengalur dalam celoteh ceritanya.

Sudah menjadi hal biasa, di tiap pagi hari sabtunya. Dengan hanya merogoh kocek sembilan ribu rupiah bisa menyantap sepiring batagor sembari menikmati segelas es doger, sudah cukup untuk mengganjal perut selama setengah hari untuk bekal jalan-jalan di pengapnya kota sejuta angkot itu.

Sambil menunggu penjual berpenampilan rapi datang menyodorkan jualannya, terlihat asyik jika duduk-duduk diemperan rumah kecil topi didepan gerobag-gerobag kaki lima itu. Terlihat lima anak kecil tak bersendal disana, tiga laki-laki dan dua perempuan yang mestinya mereka berada di kelas sepagi itu, bisa dibilang seumuran anak kelas 2 SD dan ada satu paling kecil belum cukup umur buat bersekolah. Tampak kumal tapi riang, seorang menghampirinya dengan dengan wajah tanpa dosa, mengulurkan tangan dan tak berkata apapun.

“Makan batagor sini sama kakak”, ajaknya.

Lima anak itu hanya menghampiri, tak ada ekspresi raut senang hanya duduk berjajar dan diam, tak berlarian lagi.

Kasihan ya”, tanggap seorang lelaki bermuka orientalis di sampingnya.

“Iya mas, saya milih mbeliin mreka makanan daripada ngasih duit, takutnya buat beli macem-macem”, tukasnya.

Klo saya mah gak papa ngasih duit ke anak-anak daripada ke ibu-ibu, mreka kan masih kuat, nyucipun juga masih kuat”, tampak tenang berlagak layak perempuan.

Saya ini mualaf, gak ada ruginya ngasih duit ke orang-orang itu, memang benar kuasa Tuhan itu ada, kemaren saya baru dikasi duit sma ibu-ibu di angkot karna saya bilang saya ini mualaf, hari itu hari pertama saya puasa di bulan Ramadan, uangnya saya masukin kotak amal masjid dan ternyata kebaikan itu datang ke saya berlipatganda.

“Kenapa pindah agama?”

Tak pernah sebenarnya terfikir oleh saya buat pindah agama, tapi saya tu mimpi baca Kitab suci di padang pasir diliatin ma orang banyak padahal saya gak bisa baca kitab suci.Di akhir mimpi, saya liat ada jembatan sirotal mustaqim

Saya ini dari keluarga keturunan China, biasa dengan tradisi memuja di pura, sebenarnya semua agama tu sama memuja Tuhan, kita gak menyembah berhala, saya juga sering mbantuin masak-masak buat kebaktian di gereja.”

Tuturan sumringah seperti terlahir kembali suci di dunia. Keajaiban benar ada dan tak datang dengan sendirinya, dan bukan berarti berdoa dengan harap keajaiban segera nyata. Mungkin di salah satu sisi keajaiban masih ada usaha yang tak terlihat. Keajaiban pun hanya atas kehendakNya.

8.10.09

TakuT

Beralasankah bila berlarut kalut?

Jika kitab itu benar, maka salahlah tanyaku. Kata orang menangis, disebut kesedihan, tapi kitab menamainya kerugian. Kata orang tertawa , namanya surga dunia, tapi kitab menyebutnya kerugian. Jika itu benar, kesadaran menjabat kesederajatan keduanya memang perlu untuk dijadikan kambing hitam ketika dipermalukan oleh air mata. Biasa terhimpit keadaan akan membuat lihai dalam menyamar rupa, bahwa diujung sana masih ada deru rasa takut. Ketakutan karna tak bisa melihat kesejajaran keduanya dengan seringai damai.