Selepas kepergiannya..
Kalut kabut kelabu menggelayuti benakku merongrong pikir otak yang semakin tak berotak. Kuragu akan kemusnahan dirinya hingga kuikuti egoku begitu saja. Kusalahkan diriku, kusalahkan dirinya hanya berkutik mencari titik-titik yang tak mungkin bisa ditelusur lagi, karena benar memang nasi telah menjadi bubur. Bukan karma bukan pula sebab akibat, sungguh hanya sentuhan hangatNya yang tak kuasa kuhayat. Kebenaran hakiki tak perlu dicari, tak perlu pula mencari siapa yang dipersalahkan, karena kita benar sebagai manusia, budak nafsu yang sering termakan rasa bukan logika. Namun betapa bodohnya aku, masih mencicipi mimpi yang kasat mata telah menepi, tak butuh untuk dirangkai lagi, tak perlu pula dihiasi karna hanya akan membuahkan kenihilan diri.
Kucoba beranjak diri, meninggalkan sepi, melapangkan hati disetiap peraduanku padaNya. Kedamaian memang sungguh-sungguh datang, acap kali sering hilang, jatuh bangun kupunguti kembali cerca-cerca hidup meski tertatih-tatih tersandung belenggu beku piluku.
’Sudahlah nak, tak perlu kau sesali tak perlu kau tangisi hidup, kau hanya menyakiti dirimu sendiri, seperti ini hanya laku, masih banyak persoalan di depan yang lebih berat, ini akan membuatmu lebih kuat, ini hanya jalan menuju kedewasaan’
Benar, hikmah itu menghampiriku. Kutemukan kembali diriNya, kurasakan tanganNya tak henti-hentinya menampar kecongkakanku. Begitu seringnya dia mengingatkanku hingga serasa peluh keluhku tak berujung di kesudahan, begitulah diriNya mencinta dengan cara yang berbeda pada tiap hambaNya, sungguh indah bila menengadah.Ku hanya takut kehilanganNya kembali karna belenggu ragu akan gundahku barang kali muncul menyeruak mengkoyak-koyak serpih-serpih syukur yang mulai kuukur.
Kesedihan hanyalah kehampaan diri, kesedihan sebenarnya tak ada bila kita terbangun, tak manyun termangu memangku kelu memasung sendu.