19.8.09

GadiS

Gadis polos yang dulu menghujat kedigdayaan cinta, kini meski tejerat oleh keculasan cinta.


Kala masih duduk di bangku SMA, gadis polos itu enggan untuk berjabat dengan cinta, bahkan sering menamparnya. Melihat rekannya terjerembab akibat keapatisan cinta akan keadaan rasa, terbesit di benak gadis polos itu ” Cinta tak hanya untuk menyejukkan satu jiwa seorang laki-laki, tapi kasih sayang untuk siapa saja. Meskipun tak bersandar dibahu seorang Adam, Hawa dapat membagi kasihnya pada siapapun.”


Hingga berumur 19 tahun, gadis polos itu didatangi sang Adam. Gadis polos itu bingung, ia menangkap sesuatu yang berbeda dari sang Adam.Akhirnya gadis polos itu menyambut tangan sang Adam tanpa berbekal dan tak menyangkal akan keapatisan cinta. Akibatnya gadis polos itu gamang meniti cintanya, ia sering termakan kemauannya sendiri tanpa berkomitmen. Tapi sang Adam begitu baik, tak pernah menuntut apapun dari sang gadis yang kian menjadi egois.


Gadis polos itu, kini jadi lacur termakan kedigdayaan cinta. Gadis itu tak tahu lagi jati dirinya. Jiwa, raga, hati, emosi, logikanya diserahkan begitu saja pada cinta. Gadis itu tak pantas lagi disebut gadis.Tragis dan ironis.

GamE

Life is game. I’ve my own life to play the game.


Hidupku adalah bagaimana aku bisa mempermainkannya layaknya gamer yang begitu addicted terhadap apa yang dinamakan game. Biasanya aku bermain di level 17 dan itupun aku belum bisa menamatkannya, sekarang aku harus loncat ke level 83. Over acceleration, seorang expert gamer telah mengenalkanku pada level ini, terpaksa aku harus memainkanya sebagai pemula yang tak berbekal kemampuan cukup. Memang sangat sulit bagi seorang pemula dalam mengumpulkan amunisi untuk membabat habis the enemies, dan mungkin sangatlah mudah bagi expert gamer untuk memenangkannya, jelas saja jam terbangnya lebih panjang.


Sebuah kemungkinan, pemula itu akan menang jika ia tidak memainkan lagi level di bawahnya dengan tetap cerdik memainkan trik-trik yang dipakai di level sebelumnya. The mission will be accomplished. Pemula menang dengan menyandang tantangan di depan, bahwa masih banyak level yang harus ia mainkan.


The game isn’t over, but never be ending.

HijaB

Kembali menjemput malam bersama teman-teman yang sekian lama aku tak memperhatikan mereka.


Melihat seorang temanku bersahabat dengan cermin, kurasakan kesejukan itu. Dia mulai membentangkan kain hijau tipis dengan bordir ukiran bunga mengelilingi tepinya. Dia sibuk menutupi kepalanya dengan kain itu, tak ia relakan sehelai rambutpun mencuat dari tepi-tepi kain yang membungkus mungil wajahnya yang putih bersih bak bunga sakura.


“ Cantik”, kataku

“Hhe.. iya alhamdullilah, semoga aku bisa istiqomah”, balasnya


Ini kali pertamanya dia memakai jilbab. Aku keluar kamar untuk makan malam bersama mereka kembali, kulihat dua orang temanku yang lain melakukan hal serupa, cantik dengan kerudung membalut kepala yang biasanya mereka biarkan mengaga. Terbesit di benakku, kapan aku bisa berjihad seperti mereka tapi bukan untuk mengikuti mereka.


Dua tahun yang lalu.


Waktu itu matahari mulai membenamkan dirinya, aku berjalan dengan seorang ukhti yang menurut pandanganku, dia memang benar-benar seorang muslimah yang tak gentar mengais ilmu Allah.


”Kapan adek mau berjilbab”

”Hah, wah gak tau ya kak, saya aja masih kayak gini”, alasan salah, terpaksa aku keluarkan


Orang-orang di sekelilingku menganggap aku adalah seorang muslimah yang taat, yang pandai dalam menyoal agama hingga aku menjadi pengurus masjid hingga sekarang, ya mungkin karena menurut pendapat mereka, aku adalah seorang pribadi yang kalem, kemayu, pendiam dan gak neko-neko.Yah, mereka salah tertipu muka polosku. Aku baru menemukan jawaban dari sisi gelapku setelah aku duduk di bangku SMA, bahwa aku butuh Tuhan, agama Islam yang tidak diajarkan di keluargaku, yang hanya kudapat di bangku SD dan SMP hanya sekedar agar tinta merah tidak menghiasi raporku.


Orang tuaku tak pernah mengizinkanku untuk mengenakannya, kecuali aku sudah memilki pendamping hidup. Melihat temen-temen kecilku pergi ngaji, aku hanya bisa melongok dari jendela rumah, berharap ayahku pergi agar aku bisa ikut bersama mereka.


Ketika aku mempunyai seorang yang dekat.


Orang itu pecandu nicotine sekaligus caffein.Benar, hidup akan berharga jika kita mempunyai pelarian, kesakauan akan sesuatu hal. Pecandu tidak untuk diganggu, empati akan muncul jika kita menyandu, bahwa tidak mudah untuk menyapu candu. Dulu orang itu sangat dekat denganku, dia adalah orang pertama yang kusuguhi keluh kesahku dengan tak kenal waktu. Dia pun berani menanggalkan nicotinenya untuk meminangku berhijab. Alih-alih kuhargai, aku malah berdalih ” Memang berhijab setara dengan menyapu candu? ”. Kesadaran hati yang kuinginkan dariku dan darinya, meski kesadaran itupun butuh dorongan.


Ketika aku duduk disamping anak Adam.


” Kapan kau, mau berjilbab seperti mereka, janganlah kau berjilbab dulu sebelum kau perbaiki akhlakmu itu”

” Belum, Tuhan Maha Adil, tidak usah menyangkut pautkan antara hijab dan akhlak, karena Tuhan mempunyai hak prerogatif untuk menilainya”

” Ya iya c, tapi gimana pandangan orang-orang terhadap kaum muslimin jika seperti itu ”

” Mereka mempunyai kemerdekaan untuk berpendapat begitu juga kau, begitu pula aku. Dan begitu munafik bila kita menilai akhlak seseorang, bagus jika aku bisa meniru keikhlasan mereka dalam berkerudung”

Four thumbs up, with my feet”

“ Hari ini kau bisa mengancungkan keempat jempolmu padaku, besok kau pun bisa menamparkan jari-jarimu itu kemuka atau malah kakimu itu akan menendangku”


Begitu rumitnya manusia, menerawang niatnya hanya kealphaan belaka. Seseorang bisa berubah kapan saja, tidak ada satu orang pun yang bisa tau, hanya Illahi Sang Maha Tahu. Begitu pula denganku mungkin sekarang aku tidak berhijab, entah esok hari, entah lusa nanti, atau aku malah akan menanggalkannya setelah memakainya dengan menyebutku seorang pecundang. Ya, pecundang yang tak segera mau berubah.